Sabtu, 20 September 2014

Catatan hati Dunia Anak



 Apa sih pendidikan anak usia dini itu?
Belum banyak masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak BALITA mengetahui arti dari pendidikan anak usia dini secara pasti. Walaupun Pendidikan anak usia dini ini sudah ada di Indonesia sejak zaman dahulu kala, dibuktikan dengan adanya guru atau resi yang di datangkan ke kerajaan untuk mendidik anak-anak mereka.
Sebelum membahas mengenai pendidikan anak usia dini, terlebih dahulu mengetahui tentang arti pendidikan. Menurut Sitem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik (murid) secara aktif mengembangkan pengendalian diri/ emosional, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut UNESCO pendidikan hendaknya dibangun dari 4 pilar, yaitu learning to know (anak belajar dari pengalaman yang diperolehnya), learnig to do (anak belajar dari perbuatan yang dilakukannya), learning to be (anak belajar karena dia melakukan), dan learning to live together (anak belajar dari pengalaman hidupnya di masyarakat).
Di Indonesia, pengertian Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah pendidikan yang diberikan kepada anak usia 0 – 6 tahun. Sedangkan kalau di luar negeri, PAUD itu diberikan kepada anak usia 0 – 8 tahun.
PAUD di Indonesia dibagi menjadi beberapa program (UNESCO, 2003; 2005), seperti Taman Kanak – kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), Taman Bermain / play group, Taman Penitipan Anak (TPA), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Bina Keluarga Balita (BKB), dan Pos PAUD/ Satuan PAUD Sejenis.
Heart: 1Pendidikan ini tidak hanya didapatkan anak dari sekolah saja, tetapi lebih penting pendidikan ini didapatkan dari keluarga. Karena anak diawasi guru 2,5 jam setiap hari dan sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah. Sehingga pendidikan dan pengasuhan anak diutamakan dilakukan oleh anak.

Mengapa PAUD itu penting???
Anak usia dini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, baik perkembangan fisik maupun mentalnya. Pertumbuhan dan perkembangan ini sudah dimulai sejak anak masih dalam kandungan, makanya sangat penting pada saat ibu hamil melakukan stimulus atau rangsangan kepada calon bayinya (seperti mendengarkan musik dengan irama yang menenangkan), makan makanan yang bergizi, dan selalu kontrol ke bidan atau dokter kandungan secara rutin sesuai anjuran dokter.
Menurut hasil-hasil penelitian mutakhir di bidang neuroscience dan psikologi, anak pada usia ini (0 – 8 tahun) ini anak mengalami tahun keemasan atau golden age karena perkembangan otak anak mencapai 80% dan pada tahun keemasan ini akan menentukan dasar-dasar perilaku seseorang di masa yang akan datang. Untuk itu, sudah banyak negara di dunia yang lebih menekankan dan mewajibkan pendidikan buah hati mereka sejak usia dini (0 – 8 tahun) karena orang tua dan pemerintah sudah sadar betul akan pentingnya pendidikan anak usia dini.

Bagaimana cara mendidik Anak Usia Dini?
Setiap orang tua pasti menginginkan memiliki buah hati yang cerdas dan bisa membanggakan Anda. Maka dari itu, sangat penting bagi Anda untuk memasukkan buah hati Anda ke sekolah-sekolah PAUD terdekat. Selain itu, perlu dikomunikasikan antara guru dan orang tua mengenai pendidikan anak di sekolah sehingga nantinya pendidikan yang diterima anak di sekolah dan di rumah saling berkesinambungan dan selaras. Diharapkan supaya anak tidak mengalami kebingungan apabila ingin melakukan tindakan apa pun.
Seperti kisah berikut ini:
Andi merupakan anak laki-laki berusia 4 tahun dan sekolah di salah satu TK di kota Semarang. Di sekolah, Andi diajarkan untuk selalu membuang sampah pada tempatnya. Apabila setelah makan jajanan, bungkusnya selalu di buang di tempat sampah. Tapi setibanya di rumah, orang tua Andi mencontohkan membuang sampah sembarangan. Apabila selesai makan jajan, Andi selalu membuang sampah seenaknya saja. Sehingga pelajaran pembiasaan yang diterapkan di sekolah terkesan sia-sia karena apa yang diajarkan di sekolah tidak diterapkan juga di rumah.
Heart: 2Kisah ilustrasi kedua, Santi merupakan murid perempuan di salah satu TK yang ada di Kota Semarang, dia berusia 5 tahun. Sejak awal masuk sekolah, orang tua Santi selalu menayakan perkembangan Santi dan menanyakan pembiasaan apa saja yang diterapkan guru di sekolah. Misalnya, Guru selalu menyuruh murid-murid untuk membereskan mainan yang diambilnya. Sesampainya di rumah, orang tua Santi selalu menyuruh Santi untuk membereskan mainannya sendiri yang diambilnya. Sehingga sebelum menyelesaikan kegiatan beres-beres mainannya selesai, Santi tidak boleh pergi main ke luar rumah. Maka dari itu, Santi selalu membereskan mainannya sebelum main keluar rumah.
Dari kedua ilustrasi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pembiasaan yang diterapkan di sekolah dan di rumah itu harus saling berkesinambungan supaya pembiasaan-pembiasaan baik yang diajarkan di sekolah tidak sia-sia.
Untuk Anda, kisah manakah yang akan Anda terapkan bagi putra-putri Anda di rumah? Pastinya Anda yang lebih tahu mana yang terbaik buat buah hati Anda.
Kritik dan saran penulis nantikan selalu. Semoga catatan penulis ini dapat bermanfaat bagi Anda. Nantikan catatan selanjutnya di bulan depan...
Terimakasih..

PENDIDIKAN KARAKTER



2.2.1.      Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan dasar untuk membangun sebuah negara yang beradab dan berbudaya. Pendidikan dapat merubah pola pikir dan perilaku manusia menjadi lebih baik. Pendidikan akan merubah harkat dan martabat manusia itu sendiri. Pada dasarnya, hakikat pendidikan adalah untuk membentuk karakter suatu bangsa. Apabila dirumuskan hakikat pendidikan dapat dibagi dalam tiga garis besar, yaitu (1) pedidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya, (2) pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidikan, dan (3) pendidikan pada prinsipnya berlangsung seumur hidup.
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bahwa pedidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar yang kondusif dan nyaman dalam proses pembelajaran sehingga anak dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Ki Hajar Dewantara dalam bukunya Salahudin dan Irwanto (2013: 93) mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect), dan olah tubuh anak supaya mendapatkan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan yang selaras dengan dunianya. Karakter menurut Salahudin dan Irwanto (2013: 49) adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya.
Karakter yang berkualitas perlu dibina sejak dini karena pada masa ini anak mengalami masa kritis dalam pembentukan karakternya, seperti yang penelitian yang telah dilakukan oleh Universitas Otago di Dunedin, New Zealand. Mereka meneliti 1000 anak yang diteliti selama 23 tahun dari tahun 1972. Anak-anak pertama kali diteliti pada usia 3 tahun dan diamati kepribadiannya. Kemudian mereka diteliti kembali saat berusia 18 tahun, 21 tahun, dan 26 tahun. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa anak-anak yang pada usia 3 tahun telah didiagnosa sebagai uncontrollabel toddlers (anak yang sulit diatur, pemarah, pembangkang) ternyata ketika berusia 18 tahun menjadi remaja yang bermasalah, agresif, dan mempunyai masalah dalam pergaulannya. Pada usia 21 tahun mereka sulit membina hubungan sosial dengan orang lain dan terlibat dalam tindakan kriminal. Sebaliknya untuk anak yang ketika berusia 3 tahun sudah memiliki jiwa (well-adjusted toddlers) tumbuh menjadi orang-orang yang berhasil dan sehat jiwanya (Megawangi, 2009: 22).
Persoalan karakter atau moral memang tidak sepenuhnya terabaikan oleh lembaga pendidikan, tetapi fakta-fakta seputar kemerosotan karakter di lingkungan sekitar menunjukkan institusi pendidikan mengalami kegagalan dalam menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter dan berakhlak mulia. Misalnya: adanya penurunan kualitas moral bangsa saat ini dicirikan dengan maraknya praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), terjadinya konflik (antar etnis, agama, politis, remaja), meningkatnya kriminalitas, menurunnya etos kerja, dan sebagainya (Megawangi, 2004:14). Lebih dari pada itu, krisis moral ini pun melanda generasi muda di sekolah, hasil penelitian Megawangi yang terdapat dalam tesis Sri Wahyuni Tanshzil dengan judul “Model pembinaan pendidikan karakter pada lingkungan pondok pesantren dalam membangun kemandirian dan disiplin santri” tentang ketidakjujuran siswa Sekolah Menengah Kejuruan-Teknik Informatika (SMK-TI) di Bogor, dimana hampir 81% siswanya sering membohongi orang tua, 30,6% sering memalsukan tanda tangan orang tua/wali, 13% siswa sering mencuri dan 11% siswa sering memalak.
Hal ini disebabkan materi pembelajaran di sekolah tentang pengetahuan agama dan pendidikan moral belum berhasil membentuk manusia yang berkarakter. Dilihat dari muatan pelajaran agama dan moralnya bagus dan mudah dipahami. Untuk itu, fakta tentang kemerosotan karakter dan moral menegaskan bahwa guru yang mengajar harus memiliki perhatian dan fokus dalam memberikan pedidikan karakter pada anak (Zubaedi: 2011: 5). Ki Hajar Dewantoro mengungkapkkan bahwa karakter seseorang berkembang berdasarkan potensi yang dibawa sejak lahir atau yang dikenal sebagai karakter dasar yang bersifat biologis. Aktualisasi karakter dalam betuk perilaku sebagai hasil perpaduan antara karakter biologis dan hasil interaksi dengan lingkungannya. Karakter dapat dibentuk melalui pendidikan karena pendidikan merupakan alat yang efektif untuk menyadarkan individu dalam jati diri kemanusiaannya. Sehinngga dihasilkan kualitas manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, memiliki kecemerlangan pikir, kecekatan raga, dan memiliki kesadaran penciptaan dirinya. Dibanding faktor lain, pendidikan memberikan dampak dau kali lipat atau lebih dalam pembentukan kualitas mereka (Zubaedi, 2011: 13). Pendidikan karakter merupakan gerakan nasional untuk menciptakan sekolah yang membina generasi muda yang beretika, bertanggung jawab, dan peduli melalui pemodelan, serta mengajarkan karakter sesuai dengan penekanan pada nilai universal atau kesepakatan bersama (Suprihatiningrum, 2013: 280).
Dari pendapat tokoh-tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar dan terencana yang dilakukan untuk mengembangkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) melalui proses pembiasaan dan keteladanan. Adapun contoh-contoh penanaman pendidikan karakter di TK/RA adalah membiasakan anak untuk antri saat mencuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan, sholat berjamaah di masjid sekolah, mengajarkan anak untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri saat bertengkar, dan sebagainya.
2.2.2.      Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter
Pada dasarnya, setiap manusia mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri manusia (internal) atau dari luar (eksternal). Faktor-faktor tersebut akan menentukan proses perubahan manusia ke arah positif atau sebaliknya (negatif). Manusia memiliki karakter, akhlak, atau moral yang sifatnya fleksibel dan dapat diubah atau dibentuk. Perubahannya bergantung pada proses interaksi antara potensi dan sifat alami yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, seperti kondisi lingkungan, sosial budaya, pendidikan, dan alam.
Pada dasarnya, dimensi-dimensi pendidikan karakter tercantum dalam beberapa pilar karakter. Seperti pendapat para penggiat pendidikan karakter dalam Indonesia Heritage Foundation (IHF) menggungkapkan sembilan pilar karakter yang saling berkaitan (Zubaedi: 78-79), yaitu:
a.         Tanggung jawab (responbility) adalah suatu sikap dan tindakan mampu mempertanggungjawabkan serta memiliki perasaan untuk memenuhi tugas dengan dapat dipercaya, mandiri, dan berkomitmen.
b.         Rasa hormat (respect), merupakan sikap dan tindakan menunjukkan rasa hormat yang tinggi atas kewibawaan orang lain, diri sendiri, dan negara. Ancaman kepada orang lain diterima sebagai ancaman juga kepada diri sendiri sehingga memahami bahwa semua orang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sama.
c.         Keadilan (fairness), merupakan sikap atau tindakan mampu melaksanakan keadilan sosial, kewajaran dan persamaan, bekerjasama dengan orang lain, memahami keunikan dan nilai-nilai dari setiap individu di dalam masyarakat.
d.        Keberanian (courage), merupakan sikap dan tindakan untuk bertindak secara benar pada saat menghadapi kesulitan dan mengikuti hati nurani daripada pendapat orang banyak.
e.         Kejujuran (honesty) adalah kemampuan menyampaikan kebenaran, mengakui kesalahan, dapat dipercaya, dan bertindak secara terhormat.
f.          Kewarganegaraan (citizenship) adalah kemampuan untuk mematuhi hukum dan terlibat dalam pelayanan kepada sekolah, masyarakat, dan negara.
g.         Disiplin (self-discipline) adalah kemampuan menunjukkan hal yang terbaik dalam segala situasi melalui pengontrolan emosi, kata-kata, dorongan, keinginan, dan tindakan.
h.         Kepedulian (caring) adalah kemampuan menunjukkan pemahaman terhadap orang lain dengan memperlakukan secara baik, dengan belas kasih, bersifat dermawan, dan dengan semangat memaafkan.
i.           Ketekunan (perseverance) adalah seseorang yang memiliki kemampuan mencapai sesuatu dengan menentukan nilai-nilai objektif disertai kesabaran dan keberanian di saat menghadapi kegagalan.
Sedangkan pendapat lain diungkapkan oleh pakar pendidikan, Prof. Suyanto, Ph. D. (Zubaedi: 80-81), yang berpendapat bahwa terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia, diantaranya: cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggung jawab; kejujuran atau amanah; hormat dan santun; dermawan, suka tolong menolong, dan gotong royong atau kerjasama; percaya diri dan pekerja keras; pepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati; dan toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Berdasarkan pendapat tokoh-tokoh di atas dapat disimpulkan  bahwa pilar-pilar pendidikan karakter, meliputi tanggung jawab, rasa hormat, keadilan,  keberanian, kejujuran, kewarganegaraan, kedisiplinan, ketekunan, dan kepedulian.
Selain pilar-pilar pendidikan karakter, satuan pendidikan sebenarnya sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi yang dimaksud seperti: keagamaan, gotong royong, kebersihan, kedisiplinan, kebersamaan, peduli lingkungan, kerja keras, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa (Kemendiknas, 2010: 9-10) yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
TABEL 2.1. Nilai-nilai Budaya dan Karakter Bangsa
No.
NILAI
DESKRIPSI
1.
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3.
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5.
Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6.
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7.
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.
Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9.
Rasa ingin tahu
Sikap dan tindakan yang menunjukkan upaya untuk mengetahui lebih dalam tentang sesuatu hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari.
10.
Semangat kebangsaan
Cara berpikir, bertindak dan cara pandang yang lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan kelompok.
11.
Cinta tanah air
Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menunjukkan rasa kesetiaan yang tinggi terhadap bangsa dan negara.
12.
Menghargai prestasi
Sikap dan perilaku yang mendorong dirinya untuk secara ikhlas mengakui keberhasilan orang lain atau dirinya.
13.
Bersahabat/ komunikatif
Tindakan yang mencerminkan atau memperlihatkan rasa senang dalam berbicara, bekerja atau bergaul bersama dengan orang lain.
14.
Cinta damai
Sikap perilaku, perkataan atau perbuatan yang membuat orang lain merasa senang, tentram dan damai.
15.
Gemar membaca
Sikap atau kebiasaan meluangkan waktu untuk membaca buku-buku yang bermanfaat dalam hidupnya, baik untuk kepentingan sendiri atau orang lain.
16.
Peduli lingkungan
Sikap perlaku dan tindakan untuk menjaga, melestarikan dan memperbaiki lingkungan hidup.
17.
Peduli sosial
Sikap dan tindakan yang selalu memperhatikan kepentingan orang lain dalam hidup dan kehidupan.
18.
Tanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Dari pendapat tokoh-tokoh di atas mengenai nilai-nilai budaya dan karakter bangsa di atas dapat disimpulkan bahwa ada 18 nilai karakter dasar yang digunakan oleh para tokoh, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
2.2.3.      Strategi Membangun Karakter Anak
Karakter merupakan sikap atau watak yang sudah melekat di dalam diri seseorang sejak lahir dan yang membedakannya dengan orang lain. Megawangi (2009: 98) mengutip pendapat Thomas Lickona bahwa karakter manusia terdiri dari tiga komponen yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan (moral feeling), perilaku bermoral (moral behaviour). Karakter yang baik harus mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai atau mengingikan kebaikan tersebut (loving or desining the good), dan melakukan kebaikan (acting the good). Oleh karena itu, cara membentuk karakter yang efektif adalah dengan melibatkan ketiga aspek di atas.
Karakter seseorang pun dapat terbentuk oleh lingkungan, masyarakat, maupun pengalaman. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter seperti yang diungkapkan oleh Hidayatullah (2010: 39-54), yaitu keteladanan, penanaman atau penegakan kedisiplinan, pembiasaan,  menciptakan suasana yang kondusif, serta integrasi dan internalisasi.
Berdasar pendapat Furqan Hidayatullah (2010: 39-54) mengenai strategi yang digunakan untuk membentuk karakter tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut, yaitu: pertama, keteladanan. Akhlak anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana hidup, khususnya di masa-masa awal pendidikan dan pembinaan anak dalam keluarga, keluarga dapat dianggap sebagai faktor paling penting dalam memberikan pengaruh terhadap kepribadian anak. Pada awalnya anak mendapat pengaruh dari orang-orang di sekitarnya, diantaranya adalah ayah, ibu dan seluruh anggota keluarga lainnya. Kemudian tatkala anak telah berusia 5-6 tahun dan mulai memasuki lingkungan pendidikan atau TK/RA, anak mulai bergaul dengan temanteman sebayanya dan para pendidik atau gurunya, kemungkinan besar dalam usia ini anak belum mampu membedakan berbagai perkara dan menentukan sebuah tujuan yang bermanfaat bagi dirinya, sebab anak masih cenderung meniru perbuatan orang lain (Mansur, 2005: 285).
Abdullah Nasih Ulwan (1999: 142) ”Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial anak yang tindak tanduknya dan sopan santunnya disadari atau tidak akan ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan dan tindak tanduk akan senantiasa tertanam dalam diri pribadi anak”. Pendapat di atas menunjukkan bahwa praktek (suri tauladan) benar-benar harus direalisasikan berkenaan dengan pendidikan agama, akhlak, atau ibadah yang diberikan atau ditanamkan sejak kecil karena hal tersebut akan memberikan kesan yang mendalam.
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keteladanan merupakan metode yang paling efektif diajarkan kepada anak untuk mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial anak yang tindak tanduknya dan sopan santunnya disadari atau tidak akan ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan dan tindak tanduk akan senantiasa tertanam dalam diri pribadi anak. Contoh kegiatan keteladanan yang dapat diajarkan di sekolah TK/RA, misalnya guru akan mengajarkan anak untuk membuang sampah pada tempatnya. Tetapi sehari-harinya guru selalu membuang sampah sembarangan dan tidak sesuai dengan tempat sampah yang seharusnya disesuaikan dengan jenisnya. Jadi, guru jangan berharap anaknya akan membuang sampah pada tempatnya dan sesuia dengan jenis sampah yang akan dibuangnya.
Dua, kedisiplinan menjadi alat yang ampuh dalam menanamkan karakter. Banyak orang sukses karena menegakkan kedisiplinan. Penegakan disiplin dapat dilakukan dengan terus menerus dan berulang-ulang, maka lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan yang positif. Suryadi (2006: 70) mengungkapkan disiplin merupakan suatu sistem pengendalian yang diterapkan oleh pendidik terhadap anak didik supaya mereka dapat berfungsi di masyarakat, dan disiplin merupakan proses yang diperlukan supaya seseorang dapat menyesuaikan dirinya. Seperti yang dikatakan juga oleh Hadiyanto (2000: 86) menyatakan disiplin adalah “suatu keadaan dimana sikap dan penampilan (performance), seorang anak sesuai dengan tatanan nilai, norma dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di sekolah dimana anak berada.
Soekanto (1996: 80) yang menyebutkan bahwa kedisiplinan merupakan suatu keadaan dimana perilaku berkembang dalam diri seseorang yang menyesuaikan diri dengan tertib pada keputusan, peraturan, dan nilai dari suatu pekerjaan. Hurlock (2010: 82) disiplin berasal dari kata “disciple” yang berarti bahwa seseorang belajar secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Orang tua dan guru merupakan pemimpin anak merupakan murid yang belajar dari mereka cara hidup menuju ke hidup yang berguna dan bahagia. Kedisiplinan adalah seseorang dengan sukarela berperilaku  mengikuti, menyesuaikan diri dengan tertib pada atuuran-aturan yang berlaku untuk mencapai kehidupan yang lebih berguna dan bahagia (Widiastuti, 2008: 16).
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan merupakan berperilaku seseorang untuk mengikuti, menyesuaikan diri dengan tertib pada atuuran-aturan yang berlaku untuk mencapai kehidupan yang lebih berguna dan bahagia.Beberapa contoh kegiatan yang dapat di lakukan di TK/RA, yaitu mengajarkan anak untuk mengembalikan alat permainan pada tempatnya. Pada anak selesai melakukan kegiatan pembelajaran, mereka disuruh mengembalikan alat permainan tersebut pada tempatnya. Pada saat ada anak yang tidak mengembalikannya, mereka ditegur untuk mengembalikan sesuai pada tempatnya. Lalu mereka disuruh melihat sekeliling kelas mengenai kondisi kelas pada awal kegiatan sebelum dimulai dan setelah kegiatan. Mereka disuruh mencari tahu perbedaannya dan apabila ada yang berbeda atau salah mereka disuruh membersihkannya atau mengembalikannya ke temaptnya semula. Apabila sudah sesuai dengan keadaan awal, mereka diberi pujian. Hal itu dilakukan setiap hari sampai mereka hafal dan terbiasa.
Tiga, pembiasaan. Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang selalu berada disekitar anak dan sekaligus menjadi figur dan idola. Bila anak melihat kebiasaan ayah dan ibunya maka anak akan mencontohnya dengan cepat. Menurut Dorothy Low Nolte mengungkapkan bahwa anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan yang mengajarinya dan lingkungan tersebut juga merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan yang dihadapinya setiap hari. Jika seseorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya mengajarinya berbuat baik, maka diharapkan dia akan terbiasa untuk selalu berbuat baik. Lingkungan dapat diakatakan merupakan proses pembudayaan anak dipengaruhi oleh kondisi yang setiap saat dihadapi dan di alami anak. Demikian halnya, menciptakan suasana yang kondusif di sekolah merupakan upaya membangun kultur atau budaya yang memungkinkan untuk membangun karakter, terutama berkaitan dengan budaya kerja dan belajar di sekolah. Tentunya bukan hanya budaya akademik yang di bangun tetapi juga budaya-budaya yang lain, seperti membangun budaya berperilaku yang dilandasi akhlak yang baik (Hafiudin, 2012: 28-29).
Menurut AA Gym dalam jurnal yang dibuat oleh Halida dan Wirawati (tt: 687) dalam jurnal yang berjudul “Analisis Nilai Moral Pembiasaan Pengucapan Terimakasih pada Anak Usia 4-5 Tahun di Kecamatan Pontianak Kota” mengungkapkan bahwa pembiasaan-pembiasaan perilaku yang baik dapat dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya sejak dini dan dimulai dari hal-hal yang sederhana dan mendasar. Menurut Papalia di  dalam jurnal yang sama mengungkapkan bahwa berhasil atau tidaknya penanaman nilai moral pada masa kanak-kanak akan sangat menentukan baik buruknya perilaku moral seseorang anak pada masa selanjutnya (Halida dan Wirawati, tt: 688).
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas diungkapkan bahwa pembiasaan merupakan pola perilaku untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukannya secara berulang untuk hal yang sama. Contoh kegiatan meniru yang dilakukan di sekolah TK adalah dengan membiasakan guru dan seluruh warga sekolah untuk menjaga ucapan dan perilakunya, serta mengurangi hal-hal negatif (berkata kasar, membentak, suka marah-marah, dan lain sebagainya) baik ketika berada di dalam kelas, luar kelas, maupun di luar sekolah. sehingga ketika berhadapan dengan anak, mereka akan mencontoh semua ucapan dan perilaku guru di sekolah.
Empat, menciptakan suasana yang kondusif. Lingkungan dapat dikatakan merupakan proses pembudayaan anak yang dipengaruhi oleh kondisi yang setiap saat dihadapi dan dialami anak. Pada dasarnya tanggungjawab pendidikan karakter ada pada semua pihak yang mengitarinya, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Lingkungan dapat diakatakan merupakan proses pembudayaan anak dipengaruhi oleh kondisi yang setiap saat dihadapi dan di alami anak. Demikian halnya, menciptakan suasana yang kondusif di sekolah merupakan upaya membangun kultur atau budaya yang memungkinkan untuk membangun karakter, terutama berkaitan dengan budaya kerja dan belajar di sekolah. Tentunya bukan hanya budaya akademik yang di bangun tetapi juga budaya-budaya yang lain, seperti membangun budaya berperilaku yang dilandasi akhlak yang baik (Hafiudin, 2012: 29).
Penelitian yang dikutip prof. Dr. Zakiah Darajat, menyebutkan bahwa perilaku manusia 83% dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar dan 6% sisanya oleh gabungan dari berbagai stimulus. Dalam perspektif ini pengaruh lingkungan terhadap pembentukan kepribadian sangat besar. Suasana rumah tangga akan menjadi pemandangan setiap hari anak-anak. Jika rumah tangga tidak kondusif, anak menjadi tidak betah di rumah, lari keluar rumah dan bergabung dengan teman sebaya. Jika teman-teman sebayanya juga mereka yang tidak betah di rumah, mereka akan membentuk komunitas tersendiri yang pada umumnya rentah terhadap pengaruh negatif. Lingkungan keluarga yang kondusif bagi pembentukan kepribadian anak-anak dan anggota keluarga lainnya adalah lingkungan psikologis, meski lingkungan fisik juga doperlukan. Kehadiran ayah sebagai idola bagi anak-anak akan menanamkan konsep diri positif sejak dini, sementara kehadiran ibu sebagai lautan kasih sayang akan mengikat pikologi anak pada cinta keluarga dan keindahan hidup menurut Agus Syafii (2009) ditulisannya yang berjudul “Lingkungan yang Kondusif”.
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan kondusif merupakan salah satu faktor penentu dalam keefektifitasan penanaman nilai karakter pada anak usia dini. Jika lingkungan mendukung maka anak akan lebih mudah menyerap nilai-nilai yang diajarkan tetapi jika lingkungan yang tidak mendukung maka anak akan mengalami kebinggungan dalam menerima nilai-nilai tersebut. Contoh dari kegiatan di atas adalah apabila suasana di sekolah guru selalu marah-marah dan jarang senyum maka akan membuat anak-anak menjadi tertekan dan susah menerima segala ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru tetapi jika suasananya menyenangkan dan membuat mereka nyaman maka mereka akan lebih mudah menyerap informasi dan ilmu pengetahuan yang diberikan guru.
Lima, integrasi dan internalisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (diakses di http://kbbi.web.id) integrasi dapat diartikan sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Sedangkan internalisasi dapat diartikan sebagai penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku.
Pendidikan karakter membutuhkan proses internalisasi nilai-nilai. Untuk itu diperlukan pembiasaan diri untuk masuk kedalam hati supaya tumbuh dari dalam. Nilai-nilai karakter seperti menghargai orang lain, disiplin, jujur, amanah, sabar, dan lain-lain dapat di integrasikan dan di internalisasikan kedalam seluruh kegiatan sekolah baik dalam kegiatan intra kurikuler maupun kegiatan yang lain. Pendekatan pelaksanaan pendidikan karakter sebaiknya dilakukan secara terintregrasi dan internalisasi kedalam seluruh kehidupan sekolah. Terintegrasi, karena pendidikan karakter memang tidak dapat dipisahkan dengan aspek lain dan merupakan landasan dari seluruh aspek termasuk seluruh mata pelajaran. Terinternalisasi, karena pendidikan karakter harus mewarnai seluruh aspek kehidupan (Hafiudin, 2012: 30).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai karakter yang akan diterapkan kepada anak usia dini hendaknya saling berkesinambungan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat atau hal tersebut dapat disebut integrasi. Sedangkan internalisasi adalah nilai-nilai karakter tersebut hendaknya tercermin dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa langkah yang dapat dilakukan guru TK/RA untuk mengintegrasikan penanaman karakter ke dalam pembelajaran, yaitu mendeskripsikan kompetensi dasar, mengidentifikasi butiran-butiran karakter yang akan diintegrasikan, mengintegrasikan butiran-butiran karakter ke dalam materi pembelajaran (kompetensi dasar), melaksanakan pembelajaran, menentukan metode, menentukan evaluasi, dan menentukan sumber dan media belajar.

Daftar Rujukan:

Ayati, Siti. (2011). Efektifitas Penerapan Metode Keteladanan terhadap Penanaman Akhlak Bagi Anak Usia Dini Di Kelompok Bermain ”Al-Ikhlas” Arjawinangun Kabupaten Cirebon. Skripsi IAIN Cirebon. http://web.iaincirebon.ac.id. [Diakses 10/7/2014]. 
Halida dan Wirawati. (tt). Analisis Nilai Moral Pembiasaan Pengucapan Terimakasih pada Anak Usia 4-5 Tahun di Kecamatan Pontianak Kota. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, hlm.: 684-693. http://jurnal.untan.ac.id. [Diakses 10/7/2014].  
Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: UNS Press. 
Kementrian Pendidikan Nasional. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Purwanto, Setyoadi. (2011). Pengembangan Lagu Model sebagai Media Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini. Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tersedia di www.uin-suka.ac.id. [Diakses 23/04/2013]. 
S., Suwito N. 2011. Eko-Sufisme: Konsep, Strategi, dan Dampak. Cet. ke-2. Yogyakarta: STAIN Press.
 Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie. 2013. Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa. Bandung: Pustaka Setia.
 Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Cet. ke-2. Bandung: Rosdakarya Offset.
Syafii, Agus. (2009). Lingkungan yang Kondusif. Online. Dapat ditemukan di http://agussyafii.blogspot.com/2009/03/lingkungan-yang-kondusif.html. [diakses tanggal 10/07/2014].
Tanshzil, Sri Wahyuni. Tt. Model Pembinaan Pendidikan Karakter pada Lingkungan Pondok Pesantren dalam Membangun Kemandirian dan Disiplin Santri. Tesis Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia di http://jurnal.upi.edu. [Diakses pada 24/08/2014].