2.2.1.
Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan dasar untuk membangun sebuah
negara yang beradab dan berbudaya. Pendidikan dapat merubah pola pikir dan
perilaku manusia menjadi lebih baik. Pendidikan akan merubah harkat dan
martabat manusia itu sendiri. Pada dasarnya, hakikat pendidikan adalah untuk
membentuk karakter suatu bangsa. Apabila dirumuskan hakikat pendidikan dapat
dibagi dalam tiga garis besar, yaitu (1) pedidikan merupakan kiat dalam
menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan
manusia seutuhnya, (2) pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang
ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan
pendidikan, dan (3) pendidikan pada prinsipnya berlangsung seumur hidup.
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
bahwa pedidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar yang kondusif dan nyaman dalam proses pembelajaran sehingga anak dapat
secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Ki Hajar Dewantara dalam bukunya
Salahudin dan Irwanto (2013: 93) mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan daya
upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect),
dan olah tubuh anak supaya mendapatkan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan
penghidupan yang selaras dengan dunianya. Karakter menurut Salahudin dan
Irwanto (2013: 49) adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas
setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu
yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungawabkan setiap akibat dari
keputusan yang dibuatnya.
Karakter yang berkualitas perlu dibina sejak dini karena pada masa
ini anak mengalami masa kritis dalam pembentukan karakternya, seperti yang
penelitian yang telah dilakukan oleh Universitas Otago di Dunedin, New Zealand.
Mereka meneliti 1000 anak yang diteliti selama 23 tahun dari tahun 1972.
Anak-anak pertama kali diteliti pada usia 3 tahun dan diamati kepribadiannya.
Kemudian mereka diteliti kembali saat berusia 18 tahun, 21 tahun, dan 26 tahun.
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa anak-anak yang pada usia 3 tahun
telah didiagnosa sebagai uncontrollabel toddlers (anak yang sulit
diatur, pemarah, pembangkang) ternyata ketika berusia 18 tahun menjadi remaja
yang bermasalah, agresif, dan mempunyai masalah dalam pergaulannya. Pada usia
21 tahun mereka sulit membina hubungan sosial dengan orang lain dan terlibat
dalam tindakan kriminal. Sebaliknya untuk anak yang ketika berusia 3 tahun
sudah memiliki jiwa (well-adjusted toddlers) tumbuh menjadi orang-orang
yang berhasil dan sehat jiwanya (Megawangi, 2009: 22).
Persoalan karakter atau moral memang tidak sepenuhnya terabaikan
oleh lembaga pendidikan, tetapi fakta-fakta seputar kemerosotan karakter di
lingkungan sekitar menunjukkan institusi pendidikan mengalami kegagalan dalam
menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter dan berakhlak mulia. Misalnya: adanya
penurunan kualitas moral bangsa saat ini dicirikan dengan maraknya praktek
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), terjadinya konflik (antar etnis, agama,
politis, remaja), meningkatnya kriminalitas, menurunnya etos kerja, dan
sebagainya (Megawangi, 2004:14). Lebih dari pada itu, krisis moral ini pun
melanda generasi muda di sekolah, hasil penelitian Megawangi yang terdapat
dalam tesis Sri
Wahyuni Tanshzil dengan judul “Model pembinaan pendidikan karakter pada
lingkungan pondok pesantren dalam membangun kemandirian dan disiplin santri” tentang ketidakjujuran siswa Sekolah Menengah Kejuruan-Teknik
Informatika (SMK-TI) di Bogor, dimana hampir 81% siswanya sering membohongi
orang tua, 30,6% sering memalsukan tanda tangan orang tua/wali, 13% siswa
sering mencuri dan 11% siswa sering memalak.
Hal ini disebabkan materi pembelajaran di sekolah tentang
pengetahuan agama dan pendidikan moral belum berhasil membentuk manusia yang
berkarakter. Dilihat dari muatan pelajaran agama dan moralnya bagus dan mudah
dipahami. Untuk itu, fakta tentang kemerosotan karakter dan moral menegaskan
bahwa guru yang mengajar harus memiliki perhatian dan fokus dalam memberikan
pedidikan karakter pada anak (Zubaedi: 2011: 5). Ki Hajar Dewantoro mengungkapkkan
bahwa karakter seseorang berkembang berdasarkan potensi yang dibawa sejak lahir
atau yang dikenal sebagai karakter dasar yang bersifat biologis. Aktualisasi
karakter dalam betuk perilaku sebagai hasil perpaduan antara karakter biologis
dan hasil interaksi dengan lingkungannya. Karakter dapat dibentuk melalui
pendidikan karena pendidikan merupakan alat yang efektif untuk menyadarkan
individu dalam jati diri kemanusiaannya. Sehinngga dihasilkan kualitas manusia
yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, memiliki kecemerlangan pikir, kecekatan
raga, dan memiliki kesadaran penciptaan dirinya. Dibanding faktor lain,
pendidikan memberikan dampak dau kali lipat atau lebih dalam pembentukan
kualitas mereka (Zubaedi, 2011: 13). Pendidikan karakter merupakan gerakan
nasional untuk menciptakan sekolah yang membina generasi muda yang beretika,
bertanggung jawab, dan peduli melalui pemodelan, serta mengajarkan karakter
sesuai dengan penekanan pada nilai universal atau kesepakatan bersama
(Suprihatiningrum, 2013: 280).
Dari pendapat tokoh-tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter adalah upaya sadar dan terencana yang dilakukan untuk
mengembangkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (action) melalui proses pembiasaan dan keteladanan. Adapun
contoh-contoh penanaman pendidikan karakter di TK/RA adalah membiasakan anak
untuk antri saat mencuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan, sholat berjamaah
di masjid sekolah, mengajarkan anak untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri
saat bertengkar, dan sebagainya.
2.2.2.
Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter
Pada dasarnya, setiap manusia mengalami perubahan dan perkembangan.
Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
manusia (internal) atau dari luar (eksternal). Faktor-faktor tersebut akan
menentukan proses perubahan manusia ke arah positif atau sebaliknya (negatif).
Manusia memiliki karakter, akhlak, atau moral yang sifatnya fleksibel dan dapat
diubah atau dibentuk. Perubahannya bergantung pada proses interaksi antara
potensi dan sifat alami yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, seperti kondisi
lingkungan, sosial budaya, pendidikan, dan alam.
Pada dasarnya, dimensi-dimensi pendidikan karakter tercantum dalam
beberapa pilar karakter. Seperti pendapat para penggiat pendidikan karakter
dalam Indonesia Heritage Foundation (IHF) menggungkapkan sembilan pilar
karakter yang saling berkaitan (Zubaedi: 78-79), yaitu:
a.
Tanggung
jawab (responbility) adalah suatu sikap dan tindakan mampu
mempertanggungjawabkan serta memiliki perasaan untuk memenuhi tugas dengan
dapat dipercaya, mandiri, dan berkomitmen.
b.
Rasa
hormat (respect), merupakan sikap dan tindakan menunjukkan rasa hormat
yang tinggi atas kewibawaan orang lain, diri sendiri, dan negara. Ancaman
kepada orang lain diterima sebagai ancaman juga kepada diri sendiri sehingga
memahami bahwa semua orang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sama.
c.
Keadilan
(fairness), merupakan sikap atau tindakan mampu melaksanakan keadilan
sosial, kewajaran dan persamaan, bekerjasama dengan orang lain, memahami
keunikan dan nilai-nilai dari setiap individu di dalam masyarakat.
d.
Keberanian
(courage), merupakan sikap dan tindakan untuk bertindak secara benar
pada saat menghadapi kesulitan dan mengikuti hati nurani daripada pendapat
orang banyak.
e.
Kejujuran
(honesty) adalah kemampuan menyampaikan kebenaran, mengakui kesalahan,
dapat dipercaya, dan bertindak secara terhormat.
f.
Kewarganegaraan
(citizenship) adalah kemampuan untuk mematuhi hukum dan terlibat dalam
pelayanan kepada sekolah, masyarakat, dan negara.
g.
Disiplin
(self-discipline) adalah kemampuan menunjukkan hal yang terbaik dalam
segala situasi melalui pengontrolan emosi, kata-kata, dorongan, keinginan, dan
tindakan.
h.
Kepedulian
(caring) adalah kemampuan menunjukkan pemahaman terhadap orang lain
dengan memperlakukan secara baik, dengan belas kasih, bersifat dermawan, dan
dengan semangat memaafkan.
i.
Ketekunan
(perseverance) adalah seseorang yang memiliki kemampuan mencapai sesuatu
dengan menentukan nilai-nilai objektif disertai kesabaran dan keberanian di
saat menghadapi kegagalan.
Sedangkan pendapat lain diungkapkan oleh pakar pendidikan, Prof.
Suyanto, Ph. D. (Zubaedi: 80-81), yang berpendapat bahwa terdapat sembilan
pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia,
diantaranya: cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggung
jawab; kejujuran atau amanah; hormat dan santun; dermawan, suka tolong
menolong, dan gotong royong atau kerjasama; percaya diri dan pekerja keras;
pepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati; dan toleransi, kedamaian, dan
kesatuan.
Berdasarkan pendapat tokoh-tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa pilar-pilar pendidikan karakter,
meliputi tanggung jawab, rasa hormat, keadilan,
keberanian, kejujuran, kewarganegaraan, kedisiplinan, ketekunan, dan
kepedulian.
Selain pilar-pilar pendidikan karakter, satuan pendidikan
sebenarnya sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter
melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan
prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya
diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai
prakondisi yang dimaksud seperti: keagamaan, gotong royong, kebersihan,
kedisiplinan, kebersamaan, peduli lingkungan, kerja keras, dan sebagainya.
Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa (Kemendiknas, 2010: 9-10) yang
dikembangkan adalah sebagai berikut:
TABEL
2.1. Nilai-nilai Budaya dan Karakter Bangsa
|
No.
|
NILAI
|
DESKRIPSI
|
|
1.
|
Religius
|
Sikap
dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
|
|
2.
|
Jujur
|
Perilaku
yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
|
|
3.
|
Toleransi
|
Sikap
dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap,
dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
|
|
4.
|
Disiplin
|
Tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
|
|
5.
|
Kerja keras
|
Perilaku
yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
|
6.
|
Kreatif
|
Berpikir
dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
|
|
7.
|
Mandiri
|
Sikap
dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
|
|
8.
|
Demokratis
|
Cara
berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya
dan orang lain.
|
|
9.
|
Rasa ingin tahu
|
Sikap dan tindakan yang menunjukkan upaya untuk mengetahui lebih
dalam tentang sesuatu hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari.
|
|
10.
|
Semangat kebangsaan
|
Cara berpikir, bertindak dan cara pandang yang lebih mendahulukan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan kelompok.
|
|
11.
|
Cinta tanah air
|
Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menunjukkan rasa
kesetiaan yang tinggi terhadap bangsa dan negara.
|
|
12.
|
Menghargai prestasi
|
Sikap dan perilaku yang mendorong dirinya untuk secara ikhlas
mengakui keberhasilan orang lain atau dirinya.
|
|
13.
|
Bersahabat/ komunikatif
|
Tindakan yang mencerminkan atau memperlihatkan rasa senang dalam
berbicara, bekerja atau bergaul bersama dengan orang lain.
|
|
14.
|
Cinta damai
|
Sikap perilaku, perkataan atau perbuatan yang membuat orang lain
merasa senang, tentram dan damai.
|
|
15.
|
Gemar membaca
|
Sikap atau kebiasaan meluangkan waktu untuk membaca buku-buku
yang bermanfaat dalam hidupnya, baik untuk kepentingan sendiri atau orang
lain.
|
|
16.
|
Peduli lingkungan
|
Sikap perlaku dan tindakan untuk menjaga, melestarikan dan
memperbaiki lingkungan hidup.
|
|
17.
|
Peduli sosial
|
Sikap dan tindakan yang selalu memperhatikan kepentingan orang
lain dalam hidup dan kehidupan.
|
|
18.
|
Tanggung jawab
|
Sikap dan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
|
Dari pendapat tokoh-tokoh di atas mengenai nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa di atas dapat disimpulkan bahwa ada 18 nilai karakter dasar
yang digunakan oleh para tokoh, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
2.2.3.
Strategi Membangun Karakter Anak
Karakter merupakan sikap atau watak yang sudah melekat di dalam
diri seseorang sejak lahir dan yang membedakannya dengan orang lain. Megawangi
(2009: 98) mengutip pendapat Thomas Lickona bahwa karakter manusia terdiri dari
tiga komponen yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral
knowing), perasaan (moral feeling), perilaku bermoral (moral
behaviour). Karakter yang baik harus mengetahui kebaikan (knowing the
good), mencintai atau mengingikan kebaikan tersebut (loving or desining
the good), dan melakukan kebaikan (acting the good). Oleh karena
itu, cara membentuk karakter yang efektif adalah dengan melibatkan ketiga aspek
di atas.
Karakter seseorang pun dapat terbentuk oleh lingkungan, masyarakat,
maupun pengalaman. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membentuk
karakter seperti yang diungkapkan oleh Hidayatullah (2010: 39-54), yaitu
keteladanan, penanaman atau penegakan kedisiplinan, pembiasaan, menciptakan suasana yang kondusif, serta
integrasi dan internalisasi.
Berdasar pendapat Furqan Hidayatullah (2010: 39-54) mengenai
strategi yang digunakan untuk membentuk karakter tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut, yaitu: pertama, keteladanan. Akhlak anak sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana hidup, khususnya di masa-masa awal
pendidikan dan pembinaan anak dalam keluarga, keluarga dapat dianggap sebagai
faktor paling penting dalam memberikan pengaruh terhadap kepribadian anak. Pada
awalnya anak mendapat pengaruh dari orang-orang di sekitarnya, diantaranya
adalah ayah, ibu dan seluruh anggota keluarga lainnya. Kemudian tatkala anak
telah berusia 5-6 tahun dan mulai memasuki lingkungan pendidikan atau TK/RA,
anak mulai bergaul dengan temanteman sebayanya dan para pendidik atau gurunya,
kemungkinan besar dalam usia ini anak belum mampu membedakan berbagai perkara
dan menentukan sebuah tujuan yang bermanfaat bagi dirinya, sebab anak masih
cenderung meniru perbuatan orang lain (Mansur, 2005: 285).
Abdullah Nasih Ulwan (1999: 142) ”Keteladanan dalam pendidikan
merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam
mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial anak yang
tindak tanduknya dan sopan santunnya disadari atau tidak akan ditiru oleh
mereka. Bahkan bentuk perkataan dan tindak tanduk akan senantiasa tertanam
dalam diri pribadi anak”. Pendapat di atas menunjukkan bahwa praktek (suri
tauladan) benar-benar harus direalisasikan berkenaan dengan pendidikan agama,
akhlak, atau ibadah yang diberikan atau ditanamkan sejak kecil karena hal tersebut
akan memberikan kesan yang mendalam.
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa keteladanan merupakan metode yang paling efektif diajarkan
kepada anak untuk mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos
sosial anak yang tindak tanduknya dan sopan santunnya disadari atau tidak akan
ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan dan tindak tanduk akan senantiasa
tertanam dalam diri pribadi anak. Contoh kegiatan keteladanan yang dapat
diajarkan di sekolah TK/RA, misalnya guru akan mengajarkan anak untuk membuang
sampah pada tempatnya. Tetapi sehari-harinya guru selalu membuang sampah
sembarangan dan tidak sesuai dengan tempat sampah yang seharusnya disesuaikan
dengan jenisnya. Jadi, guru jangan berharap anaknya akan membuang sampah pada
tempatnya dan sesuia dengan jenis sampah yang akan dibuangnya.
Dua, kedisiplinan
menjadi alat yang ampuh dalam menanamkan karakter. Banyak orang sukses karena
menegakkan kedisiplinan. Penegakan disiplin dapat dilakukan dengan terus
menerus dan berulang-ulang, maka lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan yang
positif. Suryadi (2006: 70) mengungkapkan disiplin merupakan suatu sistem
pengendalian yang diterapkan oleh pendidik terhadap anak didik supaya mereka
dapat berfungsi di masyarakat, dan disiplin merupakan proses yang diperlukan
supaya seseorang dapat menyesuaikan dirinya. Seperti yang dikatakan juga oleh
Hadiyanto (2000: 86) menyatakan disiplin adalah “suatu keadaan dimana sikap dan
penampilan (performance), seorang anak sesuai dengan tatanan nilai,
norma dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di sekolah dimana anak berada.
Soekanto (1996: 80) yang menyebutkan bahwa kedisiplinan merupakan
suatu keadaan dimana perilaku berkembang dalam diri seseorang yang menyesuaikan
diri dengan tertib pada keputusan, peraturan, dan nilai dari suatu pekerjaan.
Hurlock (2010: 82) disiplin berasal dari kata “disciple” yang berarti
bahwa seseorang belajar secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Orang tua
dan guru merupakan pemimpin anak merupakan murid yang belajar dari mereka cara
hidup menuju ke hidup yang berguna dan bahagia. Kedisiplinan adalah seseorang
dengan sukarela berperilaku mengikuti,
menyesuaikan diri dengan tertib pada atuuran-aturan yang berlaku untuk mencapai
kehidupan yang lebih berguna dan bahagia (Widiastuti, 2008: 16).
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan
bahwa kedisiplinan merupakan berperilaku seseorang untuk mengikuti,
menyesuaikan diri dengan tertib pada atuuran-aturan yang berlaku untuk mencapai
kehidupan yang lebih berguna dan bahagia.Beberapa contoh kegiatan yang dapat di
lakukan di TK/RA, yaitu mengajarkan anak untuk mengembalikan alat permainan
pada tempatnya. Pada anak selesai melakukan kegiatan pembelajaran, mereka
disuruh mengembalikan alat permainan tersebut pada tempatnya. Pada saat ada
anak yang tidak mengembalikannya, mereka ditegur untuk mengembalikan sesuai
pada tempatnya. Lalu mereka disuruh melihat sekeliling kelas mengenai kondisi
kelas pada awal kegiatan sebelum dimulai dan setelah kegiatan. Mereka disuruh
mencari tahu perbedaannya dan apabila ada yang berbeda atau salah mereka
disuruh membersihkannya atau mengembalikannya ke temaptnya semula. Apabila
sudah sesuai dengan keadaan awal, mereka diberi pujian. Hal itu dilakukan
setiap hari sampai mereka hafal dan terbiasa.
Tiga, pembiasaan.
Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang selalu berada disekitar anak dan
sekaligus menjadi figur dan idola. Bila anak melihat kebiasaan ayah dan ibunya
maka anak akan mencontohnya dengan cepat. Menurut Dorothy Low Nolte
mengungkapkan bahwa anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan yang mengajarinya
dan lingkungan tersebut juga merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan yang
dihadapinya setiap hari. Jika seseorang anak tumbuh dalam lingkungan yang
mengajarinya mengajarinya berbuat baik, maka diharapkan dia akan terbiasa untuk
selalu berbuat baik. Lingkungan dapat diakatakan merupakan proses pembudayaan
anak dipengaruhi oleh kondisi yang setiap saat dihadapi dan di alami anak.
Demikian halnya, menciptakan suasana yang kondusif di sekolah merupakan upaya
membangun kultur atau budaya yang memungkinkan untuk membangun karakter,
terutama berkaitan dengan budaya kerja dan belajar di sekolah. Tentunya bukan
hanya budaya akademik yang di bangun tetapi juga budaya-budaya yang lain,
seperti membangun budaya berperilaku yang dilandasi akhlak yang baik (Hafiudin, 2012: 28-29).
Menurut AA Gym dalam jurnal yang dibuat oleh Halida dan Wirawati
(tt: 687) dalam jurnal yang berjudul “Analisis Nilai Moral Pembiasaan
Pengucapan Terimakasih pada Anak Usia 4-5 Tahun di Kecamatan Pontianak Kota”
mengungkapkan bahwa pembiasaan-pembiasaan perilaku yang baik dapat dilakukan
oleh orang tua terhadap anaknya sejak dini dan dimulai dari hal-hal yang
sederhana dan mendasar. Menurut Papalia di
dalam jurnal yang sama mengungkapkan bahwa berhasil atau tidaknya
penanaman nilai moral pada masa kanak-kanak akan sangat menentukan baik
buruknya perilaku moral seseorang anak pada masa selanjutnya (Halida dan Wirawati,
tt: 688).
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas diungkapkan bahwa
pembiasaan merupakan pola perilaku untuk melakukan tanggapan terhadap situasi
tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukannya secara
berulang untuk hal yang sama. Contoh kegiatan meniru yang dilakukan di sekolah
TK adalah dengan membiasakan guru dan seluruh warga sekolah untuk menjaga
ucapan dan perilakunya, serta mengurangi hal-hal negatif (berkata kasar,
membentak, suka marah-marah, dan lain sebagainya) baik ketika berada di dalam
kelas, luar kelas, maupun di luar sekolah. sehingga ketika berhadapan dengan
anak, mereka akan mencontoh semua ucapan dan perilaku guru di sekolah.
Empat, menciptakan
suasana yang kondusif. Lingkungan dapat dikatakan merupakan proses pembudayaan
anak yang dipengaruhi oleh kondisi yang setiap saat dihadapi dan dialami anak.
Pada dasarnya tanggungjawab pendidikan karakter ada pada semua pihak yang
mengitarinya, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah.
Lingkungan dapat diakatakan merupakan proses pembudayaan anak dipengaruhi oleh
kondisi yang setiap saat dihadapi dan di alami anak. Demikian halnya,
menciptakan suasana yang kondusif di sekolah merupakan upaya membangun kultur
atau budaya yang memungkinkan untuk membangun karakter, terutama berkaitan dengan
budaya kerja dan belajar di sekolah. Tentunya bukan hanya budaya akademik yang
di bangun tetapi juga budaya-budaya yang lain, seperti membangun budaya
berperilaku yang dilandasi akhlak yang baik (Hafiudin,
2012: 29).
Penelitian yang dikutip prof. Dr. Zakiah Darajat, menyebutkan bahwa
perilaku manusia 83% dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang
didengar dan 6% sisanya oleh gabungan dari berbagai stimulus. Dalam perspektif
ini pengaruh lingkungan terhadap pembentukan
kepribadian sangat besar. Suasana rumah tangga akan menjadi pemandangan setiap
hari anak-anak. Jika rumah tangga tidak kondusif, anak menjadi tidak betah di
rumah, lari keluar rumah dan bergabung dengan teman sebaya. Jika teman-teman
sebayanya juga mereka yang tidak betah di rumah, mereka akan membentuk
komunitas tersendiri yang pada umumnya rentah terhadap pengaruh negatif.
Lingkungan keluarga yang kondusif bagi pembentukan kepribadian anak-anak dan
anggota keluarga lainnya adalah lingkungan psikologis, meski lingkungan fisik
juga doperlukan. Kehadiran ayah sebagai idola bagi anak-anak akan menanamkan
konsep diri positif sejak dini, sementara kehadiran ibu sebagai lautan kasih
sayang akan mengikat pikologi anak pada cinta keluarga dan keindahan hidup
menurut Agus Syafii (2009) ditulisannya yang berjudul “Lingkungan yang
Kondusif”.
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa lingkungan kondusif merupakan salah satu faktor penentu dalam
keefektifitasan penanaman nilai karakter pada anak usia dini. Jika lingkungan
mendukung maka anak akan lebih mudah menyerap nilai-nilai yang diajarkan tetapi
jika lingkungan yang tidak mendukung maka anak akan mengalami kebinggungan
dalam menerima nilai-nilai tersebut. Contoh dari kegiatan di atas adalah
apabila suasana di sekolah guru selalu marah-marah dan jarang senyum maka akan
membuat anak-anak menjadi tertekan dan susah menerima segala ilmu pengetahuan
yang diberikan oleh guru tetapi jika suasananya menyenangkan dan membuat mereka
nyaman maka mereka akan lebih mudah menyerap informasi dan ilmu pengetahuan
yang diberikan guru.
Lima, integrasi dan
internalisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (diakses di http://kbbi.web.id) integrasi dapat diartikan sebagai pembauran hingga menjadi
kesatuan yang utuh atau bulat. Sedangkan internalisasi dapat diartikan sebagai
penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan
keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam
sikap dan perilaku.
Pendidikan karakter membutuhkan proses internalisasi nilai-nilai.
Untuk itu diperlukan pembiasaan diri untuk masuk kedalam hati supaya tumbuh
dari dalam. Nilai-nilai karakter seperti menghargai orang lain, disiplin,
jujur, amanah, sabar, dan lain-lain dapat di integrasikan dan di
internalisasikan kedalam seluruh kegiatan sekolah baik dalam kegiatan intra
kurikuler maupun kegiatan yang lain. Pendekatan pelaksanaan pendidikan karakter
sebaiknya dilakukan secara terintregrasi dan internalisasi kedalam seluruh
kehidupan sekolah. Terintegrasi, karena pendidikan karakter memang tidak dapat
dipisahkan dengan aspek lain dan merupakan landasan dari seluruh aspek termasuk
seluruh mata pelajaran. Terinternalisasi, karena pendidikan karakter harus
mewarnai seluruh aspek kehidupan (Hafiudin,
2012: 30).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai karakter yang akan diterapkan kepada anak usia dini hendaknya
saling berkesinambungan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik
di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat atau hal tersebut dapat disebut
integrasi. Sedangkan internalisasi adalah nilai-nilai karakter tersebut
hendaknya tercermin dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan guru TK/RA untuk mengintegrasikan
penanaman karakter ke dalam pembelajaran, yaitu mendeskripsikan kompetensi
dasar, mengidentifikasi butiran-butiran karakter yang akan diintegrasikan,
mengintegrasikan butiran-butiran karakter ke dalam materi pembelajaran
(kompetensi dasar), melaksanakan pembelajaran, menentukan metode, menentukan
evaluasi, dan menentukan sumber dan media belajar.
Daftar Rujukan:
Ayati,
Siti. (2011). Efektifitas Penerapan Metode Keteladanan terhadap Penanaman
Akhlak Bagi Anak Usia Dini Di Kelompok Bermain ”Al-Ikhlas” Arjawinangun Kabupaten
Cirebon. Skripsi IAIN Cirebon. http://web.iaincirebon.ac.id. [Diakses 10/7/2014].
Halida dan Wirawati. (tt). Analisis Nilai Moral
Pembiasaan Pengucapan Terimakasih pada Anak Usia 4-5 Tahun di Kecamatan
Pontianak Kota. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, hlm.: 684-693. http://jurnal.untan.ac.id. [Diakses 10/7/2014].
Hidayatullah,
M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa.
Surakarta: UNS Press.
Kementrian
Pendidikan Nasional. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional.
Purwanto,
Setyoadi. (2011). Pengembangan Lagu Model sebagai Media Pendidikan Karakter
Bagi Anak Usia Dini. Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tersedia di www.uin-suka.ac.id. [Diakses 23/04/2013].
S., Suwito N.
2011. Eko-Sufisme: Konsep, Strategi, dan Dampak. Cet. ke-2. Yogyakarta:
STAIN Press.
Salahudin, Anas
dan Irwanto Alkrienciehie. 2013. Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama
dan Budaya Bangsa. Bandung: Pustaka Setia.
Samani, Muchlas
dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Cet. ke-2.
Bandung: Rosdakarya Offset.
Tanshzil, Sri Wahyuni.
Tt. Model Pembinaan Pendidikan Karakter pada Lingkungan Pondok Pesantren dalam
Membangun Kemandirian dan Disiplin Santri. Tesis Universitas Pendidikan
Indonesia. Tersedia di
http://jurnal.upi.edu. [Diakses pada 24/08/2014].